TANJUNG SELOR – Tenggelamnya Kapal Landing Craft Transport (LCT) Self Propelled Oil Barge (SPOB) di perairan Tanah Kuning, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) masih menyisakan tanda tanya. Pasalnya, kapal LCT milik PT Mayon bermuatan bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar itu belum diketahui pasti penanganannya.
Para pegiat atau aktivis lingkungan pun mempertanyakan keseriusan aparat dan Pemerintah daerah (Pemda) setempat untuk mengantisipasi pencemaran di pesisir laut tersebut.
Staf Kampanye Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) Kaltara, Nasrullah menegaskan, LCT yang tenggelam semestinya bukan hal biasa, kejadian ini patut menjadi perhatian serius pemda dan kepolisian. Apalagi, lokasi tenggelamnya LCT itu berada di pesisir kawasan industri hijau sekaligus sebagai wilayah tangkap nelayan.
“Kami sempat mencari tahu informasi dari masyarakat setempat, pasca kejadian sudah ditemukan adanya bekas tumpahan minyak sejenis solar. Itu hanya sebagian kecil yang bisa terdeteksi langsung mata telanjang, perlu ada penelusuran lebih jauh memastikan kondisi laut baik-baik saja,” tegas Nasrullah, Minggu (31/3/2024).
Nasrullah mengatakan, dari keterangan warga Kampung Baru yang rumahnya tidak jauh dari lokasi kejadian menyebutkan, dua hari pasca kejadian warga menemukan bekas tumpahan yang diduga minyak.
“Tapi karena kondisi waktu itu musim ombak sehingga bekasnya (minyak) cepat terbawa ke tengah laut.
“seorang nelayan saat itu mengangkat pukat lobster yang dekat dengan titik kejadian, saat mengambil hasil tangkapan lobster yang sengaja dihidupkan di samping perahu, tiba-tiba lobsternya mati karena terkena seperti kumpulan minyak (Solar),” lanjutnya.
Ia berharap, kondisi laut di Mangkupadi tidak seperti kejadian tumpahnya minyak di laut Balikpapan, Kaltim, beberapa tahun lalu.
“Kerusakan yang ditimbulkan cukup serius, bukan hanya ekosistem lautnya, tetapi juga terpaparnya manusia,” ujarnya.
Ia menambahkan, pencemaran minyak dapat berdampak buruk bagi nelayan di Tanah kuning dan Mangkupadi.
“Jika benar ada tumpahan minyak, ini dapat mempengaruhi produktivitas nelayan tangkap udang pijah, bagan dan aktivitas Wisata di Pesisir Pantai. Situasi ini akan mempengaruhi pendapatan masyarakat lokal. Pemerintah dan penegak hukum harusnya punya kepastian yang jelas,” tegasnya.
Sebelumnya, Manager Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddi angkat bicara terkait tenggelamnya LCT tersebut. WALHI menilai kejadian itu akan menambah daftar potensi terjadinya pencemaran lingkungan di perairan Indonesia.
“Tumpahan minyak di Indonesia sering terjadi dan dianggap sebagai suatu kejahatan lingkungan. Itu dianggap pencemaran biasa, padahal dampak dari pencemaran minyak ini itu jangka panjang,” kata Parid.
Kejadian itu berpotensi terjadinya pencemaran laut pesisir di Tanah Kuning – Mangkupadi, tentu saja tak hanya berimbas pada masyarakat, tetapi juga biota laut yang ada disitu.
“Kejadian karamnya kapal LCT ini, juga sudah diketahui pihak aparat kepolisian, namun begitu hingga saat ini belum diketahui seperti apa tindakannya,” ungkapnya
Apalagi, kondisi ini sangat menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk makhluk hidup yang ada disekitarnya.
“Dinas terkait tentunya harus melakukan tindakan cepat, khususnya berkaitan dengan upaya antisipasi pencemaran di pesisir laut tersebut,” pungkasnya.(*)