TANJUNG SELOR – NAMA Ingkong Ala sudah sangat familiar di masyarakat Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), pria kelahiran Long Nawang (Kabupaten Malinau) pada 17 November 1966 ini telah menjabat Wakil Bupati Bulungan dua periode yakni 2016-2021 dan 2021-2024.
Karier politiknya pun cukup cemerlang, hingga ia digadang-gadang maju sebagai bakal calon Wakil gubernur (Wagub) mendampingi gubernur Kaltara (Petahana) Zainal Arifin Paliwang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 27 November 2024 mendatang.
Sebelum terjun ke dunia politik, Ingkong Ala merupakan pengusaha sukses di bidang konstruksi. Namun, jauh sebelum kesuksesan itu datang, anak kedua dari orang tua Ala Ingan dan Ibu Iyong Laing ini sudah mengalami banyak masa-masa yang sulit, bahkan sejak usianya terbilang masih kecil.
Lahir sebagai putra seorang petani dan buruh lepas, Ingkong Ala kecil sudah terbiasa berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajannya. Banyak cara yang dilakukannya untuk mendapatkan uang, mulai dari berdagang, jadi tukang becak, bekerja di bengkel bahkan menjadi seorang tukang panggul. Namun kerja kerasnya ini bisa menjadi modal yang akhirnya membawa kesuksesan untuknya.
Dari tulisan ini saya menulis cerita singkat kisah haru di balik kesuksesan Ingkong Ala, kisah ini juga ia tulis di buku Autobigrafi berjudul ‘Dari Serambi Apau Kayan’
LAHIR DI TENGAH KONFRONTASI
Wilayah Apau Kayan menjadi basis gerakan konfrontasi sejak tahun 1963 hingga tahun 1966. Masyarakat di sana menyebutnya dengan “GM” (Ganyang Malaysia).
Peperangan dan berbagai dampak dari situasi politik negara dirasakan langsung oleh penduduk Apau Kayan. Peristiwa-peristiwa menegangkan kerap dialami masyarakat selama masa konfrontasi.
Pemerintah menempatkan Apau Kayan sebagai daerah strategis karena berbatasan dengan Malaysia. Long Nawang Ibu Kota Kecamatan Kayan Hulu dijadikan pusat pertahanan militer Indonesia di perbatasan.
Pasukan TNI di Long Nawang diperkuat dengan penambahan personil dan pembentukan sukarelawan tempur. Para pemuda Apau Kayan direkrut dan dilatih menggunakan senjata, taktik, dan
strategi perang.
Pada 28 September 1963 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Indonesia dengan pasukan Gurkha di desa Long Jawai-Belaga, Malaysia—sekitar 80 KM dari Long Nawang. Penduduk Apau Kayan tak asing dengan Long Jawai.
Sebab, tempat itu menjadi salah satu persinggahan mereka manakala bepergian ke kota-kota dagang di Sarawak. Pasukan Indonesia berhasil menguasai Long Jawai sebelum kemudian pada 1 Oktober dipukul mundur oleh pasukan Gurkha setelah mendapatkan tambahan
kekuatan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Peristiwa Long Jawai menimbulkan kecemasan masyarakat bahwa peperangan akan berlanjut dan meluas ke semua daerah di perbatasan. Kecemasan
masyarakat terbukti. Serangan balasan dilancarkan pihak Malaysia yang didukung pasukan Inggris. Pertempuran-pertempuran terjadi di daerah-daerah
perbatasan.
“Para pemuda Apau Kayan ikut terlibat dalam berbagai kontak senjata. Situasi pada masa konfrontasi membuat aktifitas
masyarakat terganggu. Dulu, agresi dilakukan oleh pasukan Indonesia
maupun Malaysia,” kata Ingkong Ala.
Pasukan Indonesia melakukan agresi ke wilayah Malaysia setelah muncul komando Dwikora dari Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964. TNI dibantu pasukan sukarelawan dikerahkan ke wilayah perbatasan. Pasukan Gurkha melakukan hal yang sama. Pada awal 1965 sebuah patroli pasukan Gurkha berhasil menyusup ke Long Betaoh—Kecamatan Kayan Hulu,
desa terdekat dengan garis perbatasan Indonesia-Malaysia.
“Ini jadi ingatan sejarah kami generasi yang lahir setelah masa
pergolakan itu.Tujuan utama konfrontasi sebenarnya bukan untuk bermusuhan dengan bangsa serumpun Melayu, melainkan untuk mengusir Inggris—sebagai kekuatan imperialisme dan kolonialisme,” ungkap Ingkong Ala.
Selama konfrontasi aktifitas peselai yang biasa dilakukan masyarakat ke berbagai kota di Sarawak terputus. Sementara, peselai ke sana menjadi satu-satunya jalan bagi masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan garam, gula, minyak, atau kain yang tak dapat diperoleh di Apau Kayan.
Tentara Indonesia melarang ekpedisi peselai ke sana. Sebagai kompensasi diberlakukan pendistribusikan garam melalui peswat terbang.
“Orang tua saya serta warga yang bertahan di Apau Kayan merasakan situasi-situasi genting dan mencekam itu. Bapak bertahan di Long Nawang sambil menjaga ibu yang sedang mengandung. Tradisi
kami melarang seorang suami pergi meninggalkan isteri yang sedang hamil. Jika itu dilanggar maka akan berdampak buruk pada si suami dan orang-orang yang
diikutinya pergi,” jelasnya.
Kabar damai antara Indonesia dan Malaysia disambut lega. Pada tanggal 11 Agustus 1966 Indonesia dan Malaysia sepakat berdamai mengakhiri konflik yang telah menimbulkan banyak korban dan perpecahan di antara masyarakat serumpun.
“Bagi kami konfrontasi dan perang menjadi sebuah pelanggaran serius atas perjanjian damai antara suku-suku di Apau Kayan dengan suku-suku di seluruh Serawak pada 16 November 1924 silam di Kapit. Ini
perjanjian atau petutung sakral yang mengakhiri sejarah masa lalu tradisi kami,” jelasnya.
Para pejabat tinggi Sarawak baik dari Rajang maupun Balui berpendapat bahwa perjanjian perdamaian antara suku-suku di perbatasan kedua negara yang terpisah dan mengikuti tradisi Kapit 1924 perlu dilaksanakan untuk memulihkan hubungan baik masyarakat serumpun. Tajang Laing tokoh Balui Kayan dan Menteri Kehutanan Sarawak kemudian melakukan perjalanan ke Long Nawang pada pertengahan 1967 untuk mengatur pelaksanaan perdamaian.
Mereka merencanakan perdamaian itu melibatkan seluruh masyarakat Iban, Kayan, dan Kenyah di sungai Rejang, Balui, dan Kayan—Apau Kayan. Tajang Laing, pejabat Sarawak saat itu, secara pribadi mengenal banyak orang dari Long Nawang. Itu sebabnya ia diutus oleh Temenggong Jugah untuk
melakukan misi perdamaian ke Long Nawang.
Bersama rombongan datang ke perbatasan. Di sana rombongan bertemu dengan warga Long Nawang. Tajang Laing meminta mereka untuk memanggil para
pemimpin Apau Kayan agar bertemu di perbatasan.
Pertemuan antara pejabat Sarawak dan para pemimpin Apau Kayan di perbatasan menyepakati pelaksanaan perjanjian damai seluruh suku di wilayah perbatasan. Perdamaian itu memulihkan hubungan baik sekaligus mengembalikan “kemerdekaan” yang hilang. (bersambung)